Urat “tunggang” kemajuan terletak pada kata sepakat. “Kata sepakat” terbesar kita dalam bernegara dan berbangsa dituangkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan diteruskan regulasi turunannya. Bermacam-macam regulasi lahir tiap tahun, seluruhnya bertujuan untuk kemakmuran. Begitu pula dengan UU No. 5/1990 Tentang Kawasan Pelestarian Alam dan ditindak lanjuti dengan terbitnya SK Menhutbun Nomor: 901/Kpts-II/1999 (±1.375.389,867 ha) tentang Penetapan Kawasan TNKS di 4 Provinsi, termasuk Sumatera Barat dan Pesisir Selatan di dalamnya.
Regulasi itu pada intinya tidak untuk menyengsarakan rakyat yang tinggal di sekitar TNKS, namun mengatur agar kekayaan alam itu tetap lestari dan masyarakat di lingkungan disekitarnya ikut terselamatkan. Ada pembatasan- pembatasan aktifitas dalam TNKS termasuk pembangunan jalan apalagi jalan tembus dan fasilitas yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelestarian TNKS, tapi pembatasan itu semata-mata untuk menjaga ekosistem TNKS tetap selamat.
Setiap tahun selalu “menetas” sarjana dan orang pandai cerdik di kampung kita. Namun, setiap kali “menetas” belum ada yang berfikir lalu bertindak di luar “frame” membuka jalan tembus Kambang – Muara Labuh yang selalu bertemu jalan buntu karena status jalurnya masuk ke TNKS dan warisan dunia. Selalu saja anak-anak muda masuk dan larut dalam “jebakan” ingin membuka jalan tembus Kambang – Muara Labuh. Hasrat ingin membuka Jalan Tembus Kambang-Muara Labuh seperti terwarisi dari generasi ke generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa salahnya kita keluar dari rencana “mengawang” tersebut atau berhenti memperbincangkan Jalan Kambang-Muara Labuh yang tidak berkeruncingan tersebut. Dan kemudian membuat rencana yang realistis dengan memanfaatkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan bijak dan akan mendatangkan hasil maksimal. Misalnya menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai objek ekowisata atau kegiatan adventure berskala internasional di Koto Pulai Nagari Kambang. Buat kegiatan pemberdayaan masyarakat di pinggir TNKS, karena pemberdayaan menjadikan orang lebih kreatif. Atau menjadikan TNKS sekolah alam yang di jalankan secara profesional. Bukalah komunikasi seluas-luasnya dengan pihak TNKS, dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA).
Sebetulnya, sudah banyak contoh masyarakat yang tinggal dikawasan lindung memanfaatkan kawasan lindungnya untuk kegiatan ecotourism, penelitian, adventure dan sebagainya yang memperoleh penghasilan lebih baik daripada menjadi tukang potong kayu di rimba. Salah satu contoh yang paling dekat dari kita adalah Lubuak Nyarai di Padang Pariaman, mereka bisa merubah mata pencaharian dari operator gergaji mesin menjadi fasilitator ekowisata.
Memanfaatkan TNKS tanpa harus melawan konstitusi seharusnya sudah menjadi kerangka berfikir para politisi kita. Berhentilah menjual isu jalan tembus Kambang – Muara Labuh, termasuk pemangku kepentingan sampai ke masyarakat. Bila pendekatan pemberdayaan yang diterapkan, akan banyak subsektor ekonomi yang bisa bergerak jika pemanfaatan TNKS sesuai dengan ruh perlindungan ekosistemnya. Bila ini yang dilakukan tentu TNKS, BKSDA dan lembaga internasional akan memberikan dukungan.
Pemerintah nagari setempat dapat membentuk lembaga pengelola wisata petualangan atau sejenisnya di Koto Pulai Kambang Kecamatan Lengayang lalu modal dasarnya dengan Dana Desa. Tingkatkan kapasitas lembaga dan masyarakatnya. Lahirkan fasilitaor dan pendamping alam yang profesional, terutama anak-anak muda. Buatlah camp-camp pelestarian berbagai hewan dan tumbuhan yang dilindungi lengkap dengan fasilitasnya. Buka lahan parkir memadai dan aman. Berikan keterampilan membuat pernak-pernik dan oleh-oleh untuk ibu-ibu dan anak- anak gadis kita.
Kemudian jadikan hulu Batang Kambang itu sebagai tempat arung jeram sehingga tidak ada lagi masyarakat BAB di sungai. Buat atau kelola paket kunjungan dan promosikan ke seantero dunia karena dunia sudah sangat mengenal TNKS. Pengelolaan alam seperti ini yang akan mendatangkan pendapatan besar bagi masyarakat kita.
Namun persoalannya, hingga kini tidak ada upaya untuk merubah cara berfikir pemanfaatan sumberdaya TNKS kita selain hasrat membuka jalan tembus Kambang – Muara Labuh.
Kita Jaga TNKS, TNKS Jaga Kita
Adigium “Kita Jaga Alam, Maka Alam Menjaga Kita” perlu disederhanakan menjadi “Kita Jaga TNKS, TNKS Jaga Kita”. Menjaga TNKS adalah untuk kepentingan kita juga. Dalam upaya perlindungan, TNKS memiliki sejarah cukup lama di kawasan Pesisir Selatan. Sepanjang berdirinya kawasan hutan yang pada mulanya hanya berupa hutan lindung di zaman Belanda tahun 1921 dan akhirnya jadi Taman Nasional, kini menemui banyak persoalan dalam perjalannya.
Perlu kiranya kita ketahui histori status hukum kawasan TNKS tersebut. Pertama Surat Pernyataan Menteri Kehutanan No. 736/Mentan/X/1982 (± 1.424.650 ha) tentang Calon Taman Nasional. Kemudian dilanjutkan SK Menhut No. 192/Kpts-II/1996 (±1.368.000 ha) tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi, SK Menhut No. 380/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Penetapan TNKS (partial) di Prov. Sumbar.
Selanjutnya adalah, SK Menhut No. 200/Kpts-II/1999 tanggal 14 April 1999 tentang Penetapan Kawasan TNKS di Prov. Jambi, SK. Menhutbun Nomor: 901/Kpts-II/1999 (±1.375.389,867 ha) tentang Penetapan Kawasan TNKS di 4 Provinsi. SK Menhut No.420/Menhut-II/2004 ttg Repatriasi Hutan Sipurak Hook (± 14.160 ha) sehingga luas total TNKS 1.389.509, 867 ha. Kawasan pelestarian alam (UU No. 5/1990), Kawasan strategis nasional sebagai kawasan lingkungan hidup (PP. 26 tahun 2008 tentang RTRWN). Atas usulan Pemerintah RI, TNKS ditetapkan sebagai ASEAN heritage park sejak 18 Desember 2003. World Heritage Site (WHS) – Cluster Tropical Rain Forest (TNGL, TNKS, dan TNBBS) sejak 2004.
Masuk WHS dikarenakan bentuk bentuk alam (fisik dan biologi) yang mempunyai nilai yang menonjol secara universal (estetis atau ilmu pengetahuan). Formasi geologis dan fisiografi, yang telah mempunyai batas yang jelas, mempunyai habitat dari satwa atau tumbuhan yang terancam dengan nilai menonjol secara universal (ilmu pengetahuan atau konservasi). Habitat alami, mempunyai batas yang jelas, mempunyai nilai menonjol secara universal (ilmu pengetahuan, konservasi atau keindahan alamnya).
Konsekwensi akibat masuk WHS adalah TNKS diakui sebagai milik dunia yang berakibat pada kelestarian TNKS dimonitor oleh dunia. Pemerintah dan Pemkab harus melindungi, mengamankan, dan melestarikan TNKS. Teguran dunia TNKS mengarah “in danger” pernah diterbitnkan yakni Surat Menkokesra tahun 2005 minta para gubernur (Sumbar, Jambi, Bengkulu, dan Sumsel) melakukan tindak lanjut pengamanan dan pelestarian TNKS. Emergency Action Plan (EAP), sejak 2006. Debt for Nature Swap (DNS), sejak 2007. Akibat positifnya adalah, TNKS menjadi modal dasar untuk promosi dan outsourcing dana: Clean Development Mechanism (CDM) – Carbon Trade. Reduced Emission from Degradation and Deforestation (REDD).
Namun diperjalannannya banyak problem dihadapi TNKS. Dan masalah itu hampir terjadi disepanjang batas TNKS; 66 kampung yang berbatasan langsung dengan TNKS. Kondisi Topografi yang ekstrim (Bukit Barisan) . Klaim tata batas pertambangan: KP (kuasa pertambangan) yang berada di sekitar/dekat kawasan. Masalah selanjutnya adalah, adanya usulan pembangunan jalan tembus melintasi kawasan TNKS yakni Kambang – Muara Labuh (Solsel).Termasuk illegal logging: Modus operandi dengan adanya ijin SKAU disekitar TNKS, log loundry (pencucian kayu). Perluasan pemukiman. Termasuk juga Pal Batas yang sering hilang dan rusak. (Haridman Kambang)